Selasa, 16 Agustus 2011

Seribu Jurus Memenjara Ulama

Seribu Jurus Memenjara Ulama



Amir Jamaah Ansharu Tauhid Ustadz Abu Bakar Baasyir adalah ikon perjuangan syariah. Ia kini berada di balik terali besi, menunggu proses banding di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pasalnya, menurut kuasa hukum Achmad Michan, pelaksaaaan pelatihan militer (i'dad) di Aceh untuk jihad ke Palestina tidak dilarang undang-undang.

"Alquran dalam Surat Al Anfal, bahkan menjelaskan itu bagian dari kewajiban," ujar Michdan. Sepanjang pelatihan itu untuk kebaikan, lanjutnya, seharus¬nya difasilitasi pemerintah. Michdan mengatakan, dalam UU Dasar 1945, pada pasal 29, telah diatur bahwa setiap penganut agama bebas menjalankan ajaran agamanya.

Michdan juga khawatir, isu terorisme menjadi kepentingan propaganda asing. Hal itu bukanlah isapan jempol belaka. Karena tidak sedikit indikasi yang mengarah kepada hal itu.

Sulit dikatakan sebagai suatu kebetulan, penangkapan Abu Bakar Baasyir yang menjelang kedatangan Presiders Amerika Barrack Obama ke Indonesia itu tidak ada kaitannya dengan propaganda perang melawan terorisme (global war on terrrorism, GWOT) Amerika.

Bukan kali ini saja Baasyir ditangkap dengan tuduhan tindak terorisme, sebelumnya ustadz yang sudah sepuh itu ditangkap beberapa kali. "Ust Abu Bakar Baasyir ditangkap dulu dengan bukti prematur, dikarang deliknya, barulah dibuat cerita agar seolah-olah delik yang dituduhkan itu memang dilakukan olehnya," " ujar Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia Harits Abu Ulya kepada Media Umat, Senin (4/7) di Kantor-DPP HTI, Jakarta.

Kilas Balik

Sidang perdana Baasyir terjadi di era Soeharto pada 1983. Saat itu, Baasyir ditangkap dan mau tak mau menjalani sidang atas dugaan makar karena menolak asas tunggal Pancasila. Tindakannya ini pun berbuntut pada ganjaran hukum selama Sembilan tahun penjara.

Tak mau menjadi bulan-bulanan hukum Orde Baru, Baasyir yang membawa kasusnya pada tingkat kasasi, justru melarikan diri ke Malaysia. Ia kabur bersama Abdullah Sungkar pada 11 Februari 1985, menuju kawasan Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaysia. Di Malaysia, Baasyir mengajar ngaji. Namun menurut tuduhan Amerika, Baasyir membangun jaringan Jamaah Islamiyah.

Pasca lengsernya Soeharto, Baasyir kembali ke Tanah Airnya. Pada tahun 2002 ia jadi bidikan aparat penegak hukum. Pada 28 Oktober 2002, polisi mencokok Baasyir yang tengah berada di RS PKU Muhammadiyah, Solo. Baasyir pun diboyong ke Jakarta. Ia pun menjalani persidangan. Akhirnya pada 2 September 2003, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Baasyir selama empat tahun.

Baasyir dinilai hakim melanggar Pasal 107 ayat 1 KUHP karena berupaya menggoyahkan pemerintahan yang sah dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Baasyir dipersalahkan karena masuk atau keluar wilayah Indonesia tanpa melapor pejabat keimigrasian. Baasyir melalui kuasa hukumnya pun melawan.

Hingga akhirnya pada 10 November 2003, Pengadilan Tinggi menurunkan hukuman Baasyir menjadi tiga tahun penjara. Dugaan Baasyir terlibat aksi makar dianggap tidak terbukti. Hukuman hanya diberikan lantaran Baasyir melanggar keimigrasian. Putusan Pengadilan Tinggi pun diikuti Mahkamah Agung. Pada tingkat kasasi, MA kembali menurunkan hukuman Baasyir menjadi satu setengah tahun penjara pada 3 Maret 2004.

Yang menarik, dalam persidangan tersebut, ketika menghadirkan saksi seorang penerjemah Departemen Luar Negeri Amerika Frederick Burks, (Media Umat edisi 42). saksi itu mengungkapkan, sejak tragedi ambruknya gedung World Trade Center (WTC) 11 September 2001, ABB memang diincar Amerika.

Dalam persidangan ABB terkait Bom Bali I, Burks mengungkapkan, ada pembicaraan tingkat tinggi di Washington, untuk meminta Megawati menyerahkan Abu Bakar Baasyir ke Amerika sebagaimana Umar Faruq.

Permintaan itu dilanjutkan lagi dalam pertemuan rahasia di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar Jakarta, pada 16 September 2002. Pertemuan itu dihadiri Ralph R Boyce, duta besar AS untuk Indonesia pada saat itu, Karen Brooks, direktur Asia dari National Security Council, dan Burks.

Menurut Burks, dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 20 menit itu pihak AS kembali meminta agar Baasyir diserahkan kepada Amerika dengan tudingan terkait jaringan Al-Qaeda. Permintaan tersebut kembali ditolak oleh Megawati dengan alasan ABB dikenal luas di Indonesia sehingga bisa menimbulkan instabilitas politik dan agama yang tidak sanggup dipikulnya, kecuali jika opini publik rnendukung langkah itu.

Ia melanjutkan, penolakan Megawati membuat agen CIA justru mengancam: "Jika Baasyir tidak diserahkan ke Amerika sebelum Konferensi APEC (enam minggu setelah pertemuan itu) maka situasi akan bertambah sulit. Utusan khusus Bush itu tidak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan "situasi akan bertambah sulit" tersebut. Pertemuan pun bubar.

Bom Bali pun meledak (12/10/2002). Burks berkata: "Peristiwa itu memberi alasan yang diperlukan Megawati sehingga Baasyir ditahan, meskipun saat itu Mega tidak menyerahkannya ke Amerika,” kata Burks.

Enam hari kemudian (18/10/2002), Baasyir ditetapkan sebagai tersangka teroris oleh Kepolisian RI menyusul dengan delik sebagai otak pengeboman di Bali. Opini pun dikembangkan sedemikian rupa sehingga publik pun dipaksa percaya bahwa Baasyir adalah teroris. Padahal ia hanya melanggar UU keimigrasian saja.

Selain ke Megawati, Amerika juga mencoba melobi mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif pada tahun 2004. Saat itu Syafii mengaku diminta langsung oleh Dubes AS di Jakarta Ralph L Boyce (28/3/04) atas perintah Washington agar melobi Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Kapolri supaya ABB tetap ditahan sebelum pemilu dilangsungkan (5/4/04).

Untuk kepentingan itu pihak Dubes menyiapkan semua fasilitas yang dibutuhkan. Syafii menolak dan Mahkamah Agung (MA) membebaskan ABB pada 30 April 2004. Baru saja menghirup udara bebas, Baasyir kembali dijemput paksa polisi.

Selepas Shalat Subuh, Baasyir dituding sebagai salah satu tersangka tindak pidana terorisme terkait peledakan bom Hotel JW Marriott (5 Agustus 2003). Lha, padahal saat bom Marriott I itu Baasyir sedang dipenjara.

Singkatnya, setahun menjalani sidang. Pada persidangan itu, menurut anak Baasyir, Abdur Rochim Baasyir, ada sekitar 60-65-an saksi yang dimajukan ke depan sidang. "Ternyata semuanya adalah saksi yang dibuat-buat,” ujar¬nya, semua saksi hanya mampu menyatakan bahwa betul ada pemboman di Hotel Marriott.

"Ketika itu TPM mengatakan, Pak Hakim mohon maaf, semua orang Indonesia tahu bahwa Marriott itu dibom. Yang kita inginkan mana yang menunjukkan Ust Abu itu terlibat dalam pendanaannya, atau apanya?" kesal Abdur Rochim.

Namun entah bagaimana ceritanya, akhirnya hakim memvonis Baasyir 2,5 tahun penjara. Karena Baasyir dianggap hakim terbukti terlibat permufakatan jahat untuk melakukan aksi bom di Jalan Legian, Kuta, Bali. Lha padahal pada sidang 2003, terkait Bom Bali I pengadilan sudah memutuskan Baasyir tidak bersalah.

Seorang wartawan pun bercerita kepada Baasyir bahwa ia menemui hakimnya dan menanyakan dasar-dasar memutuskan putusan kepada ulama sepuh ini. "Hakim menyatakan itu atas keyakinan kami. Kemudian si wartawan bilang, kalau kami meyakini Ust Abu tidak bersalah bagaimana Pak? Bingung hakimnya ujar Abdur Rochim pada Media Umat.

Namun sayang, tidak sedikit pengamat yang mengembangkan opini berdasarkan tuduhan penangkapan Baasyir, bukan pada vonis, temuan fakta di persidangan, atau pun lapangan. Jadilah penghakiman berdasarkan asumsi yang sebangun dengan GWOT-nya Amerika. Masya Allah.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates